Melukis Pelangi di Ujung Senja

Rania Adzwa namaku. Aku tinggal di sebuah desa terpencil yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Usiaku 25 tahun. Usia yang menurut orang-orang tua di kampungku merupakan usia matang untuk segera menikah dan memiliki anak. Namun tidak bagiku. Usia seperempat abad ini merupakan usia matang untuk mewujudkan impian dan cita-cita. Banyak hal yang ingin ku gapai sebelum hadir seseorang yang mengikat diriku untuk tidak lagi bebas mengepakkan sayap kemanapun aku mau.

Namun sayangnya angan hanyalah angan. Mimpi tinggal mimpi. Impian masa kecilku untuk menjadi seorang novelis harus terkubur dalam-dalam, terkubur bersama kenangan-kenangan indah yang tertuang di buku harianku. Perlahan, api yang menyala-nyala membakar buku harianku dan meleburkannya menjadi abu. Dengan nafas yang sesak tertahan, mataku tak sanggup lagi menampung genangan air yang mulai membuncah ingin keluar, hingga akhirnya aku menangis tersedu menyaksikan lembaran-lembaran kertas hasil karyaku yang begitu berharga berubah menjadi abu yang beterbangan tertiup angin seakan menyampaikan salam perpisahan padaku. Perlahan, aku berdiri dan kukuatkan hatiku untuk berpisah dengan masa-masa indahku bersama buku-buku harianku dan menerima takdir baru yang menjemput di depan mata. 

Hari demi hari, waktu berjalan seolah enggan melambat. Tibalah saatnya hari yang ditunggu-tunggu oleh orang tua dan kerabatku, bahkan warga di sekitar kampungku. Ya, ini adalah hari dimana akan ada perhelatan megah yang dinamakan Pernikahan yang dimana aku merupakan pemeran utamanya bersama seorang lelaki bernama Reyvanda Al-Farizqi. Aku bahkan belum mengenalnya. Hanya karena aku tak ingin dinilai sebagai anak durhaka, aku menerima garis takdirku ini dengan hati yang rapuh. Air mata yang mengalir deras ketika kata "Sah" diucapkan okeh para saksi dianggap sebagai tanda bahwa aku bahagia. Mereka salah! Air mataku yang mengalir adalah air mata kepedihan, bukan air mata keharuan. 

Tibalah saatnya aku untuk pertama kalinya melihat sosok lelaki yang kini menjadi imam ku. Ingin sekali aku meneriaki dan memakinya dengan kata-kata kasar karena sudah menghancurkan mimpi-mimpiku melalui kisah yang dinamakan perjodohan ini. Namun gemuruh di dada berhasil ku redam demi melihat ayah dan ibu yang tersenyum teramat manis hari itu. Kemudian untuk pertama kalinya aku menatap wajah itu, wajah yang mulai detik ini akan selalu ku lihat setiap hari. Dia sosok yang tampan, putih, bersih dan aura kesholihannya tampak memukau dari raut wajah dan penampilannya. Namun sayang, hatiku tidak bergetar sama sekali melihat wajah tampan dan matanya yang teduh. Untuk pertama kalinya pula kami bersentuhan tangan dan aku mencium punggung tangannya. Perlahan, dia mendekatiku dan memegang kepalaku serta membacakan doa-doa. Lagi lagi aku tidak bergeming sekalipun dengan apa yang sudah kusaksikan. 

Akhirnya perhelatan megah itu pun berakhir. Aneh rasanya ketika ada seseorang yang tidak kukenal memasuki kamarku. Terbersit amarah di kepalaku namun tak sampai hati aku memakinya. Aku hanya duduk terdiam memandangi taman di luar jendela dengan tatapan kosong. Perlahan Rey (nama panggilannya) mendekatiku dan duduk berjarak sekitar 1 meter dariku. "Terimakasih sudah bersedia menjadi istriku, dan maaf telah membawamu pada keadaan yang mungkin sulit bagimu" itulah kalimat pertama yang aku dengar darinya. "Aku akan menunggu sampai kamu bisa mencintaiku dan menerima keberadaanku di hatimu. Aku tidak akan memaksa, aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk meyakinkanmu" sambungnya dengan suara yang begitu lembut. Aku hanya terdiam dengan tatapan tetap kosong ke arah taman. 

Hari berganti hari hingga tidak terasa sudah 1 bulan sejak kami menikah. Aku berperan selayaknya istri melayani dan menyediakan semua kebutuhannya. Hingga tidak kusadari bahwa aku telah terbiasa melakukan semua kewajibanku. Hanya saja yang berbeda kali ini adalah aku melakukannya dengan suka cita, tidak lagi karena terpaksa hanya untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang istri. Aku menunggunya pulang setiap jam pulang kerja, aku memasak makanan yang dia suka, aku berdandan rapi dan wangi setiap di dekatnya. "Aku hanya sudah menerimanya, tapi belum mencintainya" batinku. 

Namun semakin hari perasaan itu mulai berubah. Dengan semua kelembutan dan kesantunannya, dengan semua perhatian dan kasih sayangnya, hatiku mulai luluh. Aku mulai menikmati setiap obrolan dengannya bahkan aku merasa nyaman menceritakan semua hal yang terjadi setiap harinya. Dan dia sama sekali tidak menunjukkan rasa bosan. Justru semakin aku bercerita dia semakin antusias mendengarkan. Bahkan sesekali dia menggodaku dan membuatku tertawa. Perasaan aneh yang ku rasakan itu semakin hari semakin tidak menentu. Aku mulai sering memperhatikan wajahnya ketika ia tidur, aku merasa gembira setiap kali dia menghabiskan makanan yang ku buat, dan aku mulai merasa hatiku berbunga-bunga setiap kali dia mencium keningku setiap pergi dan pulang kerja. Bahkan aku mulai merindukannya jika ia terlambat pulang. 

Aku termenung memikirkan apa yang terjadi dengan diriku terhadapnya. Selama ini aku belum pernah merasakan cinta yang sesungguhnya. Saat usia remaja aku hanya pernah merasa kagum terhadap satu laki-laki tapi tidak sampai hati ingin memilikinya. Berbeda dengan kali ini, aku mulai ingin terus menerus berada di dekatnya. Aku mulai takut dan khawatir jika dia pergi. Hingga akhirnya Aku mengutuk diriku sendiri karena terlambat menyadari pentingnya dia di hidupku. Petang menjelang maghrib di suatu hari, Kulihat Rey tengah duduk membaca buku di ruang tamu. Kudekati dia perlahan dan duduk disampingnya. Menyadari kedatanganku dia menoleh dan tersenyum manis. "Ada apa Rania?" Tanyanya. Aku terpaku dan mendadak lidahku terasa kelu. Dia meletakkan bukunya dan menggenggam tangaku sembari memandangku lekat-lekat. Aku semakin terpaku dan tak terasa air mataku mulai memenuhu ruang mataku. Rey tampak terkejut dan khawatir. "Kamu sakit Rania? Atau aku berbuat salah?" Tanyanya lagi. Aku menggeleng perlahan dan mulai memberanikan diri menatap wajahnya lekat-lekat. "Wajah tampan dan penuh kelembutan ini, kenapa aku tidak menyadarinya selama ini?" Tanyaku pada hatiku sendiri. Wajah tampan itu semakin menunjukkan khawatir hingga mungkin tanpa disadarinya dia semakin kuat menggenggam tanganku. "Maaf" ujarku lirih sambil tetap menatap matanya yang sejuk itu. Rey mengernyitkan dahi tidak mengerti. "Maaf karena aku terlambat menyadari arti adanya kamu disampingku selama ini, Maaf terlambat menyadari bahwa aku adalah wanita beruntung karena dipilih olehmu untuk menjadi pasangan halalmu, sekarang aku menyadari bahwa Aku Mencintaimu Rey" selorohku dengan air mata yang tak lagi bisa ku bendung. Refleks tangan Rey melepaskan genggamannya di tanganku dan langsung memeluk tubuhku. Diusapnya kepalaku dengan lembut dan diciumnya kepalaku berkali-kali olehnya. "Alhamdulillah...." hanya itu yang terucap dari bibirnya. Dengan lembut Rey menyeka air mataku dan tersenyum "Aku bahagia Rania, akhirnya kamu bisa mencintaiku dan menerimaku. Aku sangat lega dan sangat bahagia, Terimakasih" ucapnya dan kembali memelukku. Aku balas pelukannya dengan perasaan hangat dan lega. 

Aku bersyukur meski terlambat mencintainya, dia tetap sama. Tidak berubah sedikitpun, bahkan semakin menunjukkan sikap penyayangnya yang membuatku semakin enggan berjauhan dengannya. Akhirnya, sayup-sayup terdengar suara adzan Maghrib berkumandang memanggil para pecinta Tuhannya untuk bergegas mendatangi Rumah-Nya. Hujan diluarpun sudah berhenti menyisakan rintik-rintik kecil dan melukiskan pelangi di ujung senja hari itu. Aku, Rania Adzwa dan suamiku, Reyvanda Al-Farizqi bergegas pula mendatangi Rabb kami untuk mengucap syukur atas anugerah Cinta yang menyelimuti relung hati kami saat ini. 


                       ○○○Sekian○○○ 






 *LeilyAlbar17*

Komentar

Posting Komentar